Sawit, Emas Hijau di Batas Malaysia - Indonesia (Malindo)
"Jika kini dipekikkan lagi 'Ganyang Malaysia', kami tak pernah sudi," demikian Apui, seorang warga yang hidup dan tinggal di perbatasan Entekong, Kalimantan Barat. Suatu kawasan di tapal pos lintas batas (PLB) Tebedu, di mana warga kedua negara (Indonesia dan Sarawak, Malaysia) sama saja: Dayak.
Sawit di kawasan Malindo (Malaysia Indonesia). |
"Era jauh berbeda. Zaman sudah berubah. Jika dahulu kompetisi, kini kolaborasi," cetus Dr. Louis Ringah Kanyan seorang Dayak Iban dari Sarawak. Ia kerap bolak-balik ke Indonesia. Entah urusan seni budaya, entah urusan pendidikan. Sebab nyatanya, beda negara, tetapi ia punya saudara di Indonesia.
Tak mengherankan kini banyak kerja sama saling menguntungkan terjalin antara warga Malaysia dan Indonesia. Utamanya di perbatasan. "Banyak cukong, investor Malaysia menanam modal di Indonesia untuk tanaman sawit," terang Ardian, seorang warga Pusat Damai. Di kawasan inilah tahun 1980-an masyarakat mulai mengenal sawit. Dan kini mereka telah hidup berkecukupan dari sawit.
Jika kita ke Kuching dari Pontianak melalui jalan internasional Simpang Tanjung (Sosok) - Tebedu - Kuching, maka sepanjang kiri dan kanan jalan tampak kebun sawit. Baik milik perusahaan swasta maupun punya BUMN atau perseorangan; semuanya terawat dengan baik.
"Kini kaum Iban umumnya sudah semakin baik tingkat ekonominya oleh sawit," cerita Jaya Ramba, seorang warga Sarawak. Ia keturunan Iban yang sering ke Indonesia.
Harga sawit yang tahun 2021 - Februari 2022 sempat membubung tinggi, anjlok pasca "salah ucap dan salah urus"pejabat negeri ini. Lebih dua tahun anjlok, kini mulai merangkak lagi. Di tingkat petani, di perbatasan Sarawak, Malaysia harga sawit per kilo tandan buah segar (TBS) a rp 2.700,00/kg. Di tingkat pabrik mencapai rp2.800,00.
Diperkirakan, harga sawit akan tembus rp 3.000,00 hingga pengujung tahun ini (2023). Setelah ditemukan bahwa minyak sawit dapat untuk bahan bakar pesawat terbang dan gula. Emas hijau ini ditengarai kian dominan.
Sawit: multimanfaat. Memakmurkan warga perbatasan. |
Dunia amat sangat memerlukan energi. Namun, bersamaan dengan itu, diterpa isu perubahan iklim akibat efek rumah kaca. Sedemikian rupa, sehingga kebijakan energi beralih dari fosil ke biofuel (bahan bakar hayati).
Sejak tahun 2004. Ekspansi kelapa sawit mengalami peningkatan. Antara tahun 2005 -2007 industri kelapa sawit mengalami “ledakan” termasuk untuk biofuel.
Pada 2006, Stephenson memperkirakan bahwa industri kelapa sawit akan terus berkembang dengan luas mencapai 10 juta hektar. Lonjakan ini untuk memenuhi meningkatnya permintaan minyak nabati dan biofuel (Wakker, 2014).
Salah satu jalan tengah adalah menetapkan standar penggunaan biofuel. Dengan langkah ini akan tetap menjaga iklim investasi industri sawit dalam jangka panjang. Dan masih ada harapan untuk kelompok hijau.
Karena itu, hampir 30 juta hektar dikhususkan untuk produksi minyak sawit di seluruh dunia pada tahun 2019, sekitar sepuluh kali luas Belgia. Menurut data terbaru dari Departemen Pertanian Amerika Serikat, konsumsi minyak sawit tahunan global melebihi 70 juta metriks ton pada tahun fiskal 2018/2019. Dan lebih dari dua kali lipat angka tahun 2007.
Pada saat yang sama, penggunaan industri, termasuk produksi bahan bakar nabati dan kosmetik, terus berkembang dan sekarang menyumbang hampir 30 persen dari total konsumsi (Buchholz, 2019).
Biodiesel dapat diproduksi dengan empat cara berikut:
1. Pirolisis
2. Emulsifikasi mikro
3. Pengenceran
4. Transesterifikasi
Yang dimaksudkan dengan “Transesterifikasi” adalah proses menggunakan alkohol (misalnya metanol, etanol atau butanol) dengan adanya katalis seperti natrium hidroksida atau kalium hidroksida untuk memecah molekul minyak mentah terbarukan secara kimiawi menjadi metil atau etil ester dari minyak terbarukan dengan gliserol sebagai produk sampingan.
Didorong oleh kebutuhan untuk menemukan sumber energi/ bahan bakar alternatif dan terbarukan. Maka berbagai teknologi telah dikembangkan dan lebih banyak lagi sedang dikembangkan untuk mengolah limbah kelapa sawit dan minyak sawit menjadi bahan bakar nabati.
Penampakan kebun lada bergandengan dengan kebun sawit di perbatasan, masuk wilayah Serian, Sarawak, Malaysia. |
Jelas berbagai kebutuhan dari bahan sawit kian meningkat. Permintaan pasar dunia tak pernah surut. Maka jika permintaan banyak, namun harga dalam negeri (Indonesia) malah merosot, pasti ada yang salah dengan tata niaga sawit. Tak usah malu-malu. Belajar dari Malaysia. Termasuk mengurangi "raswah", setidaknya jangan ketelaluan, sehingga menyengsarakan rakyat pada akhirnya.
Selamat datang, biofuel sawit! Makmurlah warga perbatasan Malaysia - Indonesia. Jika harga sawit stabil, setidaknya jangan di bawah rp 2.700/TBS, maka ringgit kian bertaburan di Malindo dari hasil panen emas hijau. *)