Opini tentang Pendidikan di Perbatasan: Makna Belajar di Sekolah
Nikodemus, S. Pd.
Kontributor BorderNEWs, guru, tinggal di perbatasan Entekong.
Sama, atau berbedakah pendekatan (approach) bagi penanganan masalah pendidikan. Khususnya belajar di sekolah antara di wilayah dekat dengan pusat pemerintahan dan di perbatasan?
Nafikan dulu perbedaannya. Yang sama adalah pertanyaan ini, “Mengapa kita setiap hari pergi sekolah atau para orang tua mewajibkan anak-anaknya pergi ke sekolah? "
Pasti jawabannya variatif. Setiap jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya tidak ada yang salah. Semua memiliki cara pandangnya masing-masing. Dalam hal ini, perlu kita pahami kembali bahwa sekolah dalam bahasa yunani yakni schole artinya waktu luang.
Peserta didik (murid) meluangkan waktunya mengolah nilai-nilai dan keutamaan hidup. Waktu luang untuk bermain menikmati masa anak-anak dengan gembira. Waktu luang untuk belajar cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Setelah meluangkan waktunya maka mereka kembali pada aktivitas utamanya pada lingkungan keluarga atau masyarakat dengan pengalaman yang baru.
Pada era industri 4.0 saat ini, keberadaan sekolah tentunya menghadapi tantangan berat. Tantangannya berupa perubahan mendasar pada setiap aktivitas manusia yang serba otomatis dan digital. Era industri 4.0 telah membuat semuanya menjadi serba mudah dan cepat termasuk akses pengetahuan bagi peserta didik.
Peluang peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber sangat terbuka lebar, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka lebih cepat mendapatkan pengetahuan yang baru dibandingkan Pendidiknya di sekolah. Namun dalam hal ini, sosok Pendidik di sekolah tidak lah bisa tergantikan oleh kecanggihan teknologi apapun. Peserta didik boleh cepat dan pintar dalam hal memperoleh pengetahuan, tetapi dalam hal kedewasaan berpikir tentu Pendidik di sekolah adalah sumbernya. Sosok seorang pendidik di sekolah adalah pelita bagi pembentukan karakter.
Sekolah pada Era industri 4.0 tentunya jangan sampai tercabut dari makna dasarnya sebagai wahana meluangkan waktu. Biarkan sekolah tetap sebagai lingkungan yang menyenangkan. Biarkan anak-anak belajar dan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya (bukan keinginan orang tua tetapi karena bakat anak). Kemudahan pada era industri 4.0 seperti akses pengetahuan dan informasi jangan dijadikan ajang kompetisi bagi peserta didik.
Gunakan kemudahan-kemudahan itu dengan cara berkolaborasi, bukan dengan kompetisi (siapa cepat dia hebat). Kolaborasi akan menghasilkan peserta didik yang memiliki jiwa kesetiakawanan, toleransi dan saling menghormati. Output dari meluangkan waktu harus menghasilkan manusia seutuhnya, bukan manusia berjiwa kerdil. Menghasilkan manusia berjiwa kerdil maksudnya output dari proses meluangkan waktu tidak menghasilkan apa-apa, yang tercipta hanya berupa manusia yang menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang tidak produktif (kecanduan game online, kecanduan media sosial).
Manusia kerdil yang memiliki banyak gelar akademik, tetapi ia tidak memiliki kompetensi. Gelar akademik yang berderet di belakang nama terkadang membelenggu sehingga enggan untuk melakukan pekerjaan yang dianggap rendah.
Pada akhirnya mulai saat ini kita harus menghapus perspektif bahwa meluangkan waktu di sekolah bagi anak-anak adalah semata mencari nilai tertinggi, mencari rangking kelas, membahas habis materi yang telah di desain oleh kurikulum, mencari ijasah atau mencari gelar akademik.
Hal-hal tersebut mungkin terlalu mudah dan tentunya sudah melenceng dari makna dasar keberadaan sekolah. Belajar di sekolah adalah proses menemukan pengetahuan dengan filosofi “Merdeka” untuk memperoleh hidup yang lebih baik dan wahana untuk memupuk karakter luhur seperti budaya kerja keras, bertanggungjawab, menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dan pengorbanan.*)