Nawar Kuman: Nlai Adat Tradisi Masyarakat Krayan di Perbatasan Kabupaten Nunukan yang tak Tergerus Zaman
Nilai adat tradisi menawari makan (Nawar Kuman) kepada tamu di Tang Paye, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan. |
Desa Tang Paye, Krayan Tengah, Kalimantan Utara sepagi itu masih sepi. Orang-orang baru sedikit bangun pagi.Tapi, herannya. Ada yang telah pulang dari sungai Krayan di mana pukat-pukat dipasang semalan suntuk. Ikan luang (semah) pun didapat. Ikan santapan para "sultan" itulah yang nanti dihidangkan ke tamu yang datang memenuhi adat setempat: Nawar Kuman.
Dari dua patah kata “nawar” dan “kuman”. Nawar adalah menawarkan, mengundang, mengajak dengan sangat penuh hormat seseorang atau beberapa orang untuk melakukan suatu hal baik tertentu. Kuman berarti: makan.
Asal tahu. Hidangan yang ditawarkan ke tamu bukan muraha. Itu ikan sangat berkelas. Dimasak dalam keadaan segar. Enak bukan main, dimakan bersama nasi adan yang pulen dan harum.
Tang Payea dalah salah satu desa di kecamatan Krayan Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Pagi itu saya baru membuka mata, setelah selamaman tidur pulas. Udara sejuk, ditingkah suara-suara satwa. Seakan Tang Paye sebuah sudut Taman Eden.
Belum juga turun mandi. Tapi telah pula dipanggil Marli Kamis, kawan sahabat, anggota DPRD Provinsi Kaltara. Saya bermalam di rumah keluarganya. Sebab esoknya akan melakukan ekspedisi menyusur hulu Sungai Krayan. Ke Batu Sicien yang bersejarah. Selain kampung halaman di masa lalu, tempat kaki gunung batu ini juga ada kuburan tua. Saya harus ke sana!
Asal tahu, itu ikan
sangat berkelas. Dimasak dalam keadaan segar. Enak bukan main, dimakan bersama
nasi adan yang pulen dan harum.
Tang Payea dalah salah
satu desa di kecamatan Krayan Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan
Utara. Pagi itu saya baru membuka mata, setelah selamaman tidur pulas. Udara
sejuk, ditingkah suara-suara satwa. Seakan Tang Paye sebuah sudut Taman Eden.
Belum juga turun mandi.
Tapi telah pula dipanggil Marli Kamis, kawan sahabat, anggota DPRD Provinsi
Kaltara. Saya bermalam di rumah keluarganya. Sebab esoknya akan melakukan
ekspedisi menyusur hulu Sungai Krayan. Ke Batu Sicien yang bersejarah. Selain
kampung halaman di masa lalu, tempat kaki gunung batu ini juga ada kuburan tua.
Saya harus ke sana!
Nawar kuman sebagai
budaya
Hal yang unik di Tang
Paye, dan Krayan pada umumnya, adalah adat budayanya. Tamu sangat dihormati.
Dari bangun pagi, saya diundang makan ke sebuah rumah yang baru saja mendapat
banyak ikan dari hasil memasang pukat di sungai. Yakni ikan luang yang sangat
lezat, terutama bagian kepalanya.
"Jangan makan
banyak dulu," sela Marli. Saya tidak paham maksudnya. Terkejut saya
mendengar permintaan yang tidak biasa. Lazimnya, kalau mau makan, bukan begitu
kata-kata yang disampaikan, melainkan begini: Jangan sungkan-sungkan. Anggap
saja rumah sendiri. Makanlah sepuas-[uasnya, samai kenyang.
Nah, ini kok:
dilarang makan? Apa artinya?
"Ya," jawab
saya. Namun, dalam praktiknya, larangan itu saya langgar. Mana tahan melihat
sajian begitu membuka selera di depan mata?
Tak seberapa lama, saya
melihat masuk ke rumah itu beberapa orang. Tetangga sebelah. Setela pamit
masuk, duduk bersila bersama kami. Ditawari makan, tidak sudi. "Nanti di
rumah sana lagi," katanya.
Wau! Hidangan ikan pelian yang sungguh menggoda selera. |
Jika dipersilakan masuk dapur, maka kita sudah bagai keluarga. |
Dan saya pun bersama
Marli dan istri, ke rumah tetangga itu lagi. Kami disajikan dan ditawari kuman
lagi. Tidak kalah menu dibanding sebelumnya. Bahkan ada menu tambahan: daging
kancil. Saya melahap semua masakan. Duuuh, nikmatnya. Perut penuh. Sampai mau
berdiri juga susah.
Di rumah itu pun tidak
lama. Ada lagi yang ngundang ke rumah. Apalagi jika bukan nawar kuman?
Saya lama-lama menjadi
mafhum, itulah maksud Marli melarang: jangan makan kenyang dulu, pada penawaran
makan yang pertama, kedua, ketiga.... sebab ternyata hari itu di Tang Payeh
saya makan 7 kali sehari.
Pengalaman sangat
berharga. Baru di bumi Krayan saya makan 7 x sehari. Dan memang, selama 3
minggu di Krayan, BB saya nambah: 6 kg.
Habitat ikan pelian di air mengalir, lagi bersih. |
Keluarga Pak Lukas
semalam mendapat banyak ikan kena pukat, ikan enak lagi mahal, yang dalam
bahasa setempat disebut ikan: lawid luang. Mirip jelawat, ikan ini hanya
berhabitat di sungai mengalir yang belum tercemar lingkungan alamnya. Pagi-pagi
sekali, istri Pak Lukas, Marseh sudah menjemput saya di rumah penginapan, dan
bersama-sama kami menuju untuk menikmati hidangan. nasi Adan, santapan pagi itu
sungguh luar biasa.
Syahdan kata tamu dari
Lawas, Malaysia, di negeri jiran, per kilo ikan ini di restoran sampai
rp750.000. Namun, saya makan ikan ini sepuas-puasnya. Belakangan saya mafhum,
bagian kepalanya yang luar biasa maknyuzz. Amat sangat!
Pengalaman tak terlupa.
Membuat masih ingin kembali ke sini.*)