Lapangan terbang Misi dan masyarakat di Krayan (Ba' Binuang): dahulu kerja manual. |
Menyebut perkembangan, sekaligus peradaban di Sungai Krayan, tidak dapat tidak menyebut Misi The Christian Missionary Alliance (CMA).
Sebagai salah satu ujud nyata membebaskan suku-bangsa terasing saat itu dari berbagai bentuk keterbelakangan, CMA dari Amerika pada tahun 1929 ke bumi Krayan.
Ketika itu, telah dikenal adanya klan utama manusia penghuni Sungai Krayan, yakni: Lengilo’, Tanah Lun, Nan Ba’, Puneng Krayan atau Fe’ Ayan, dan Sa’ban. Tiap-tiap klan, yang kemudian hari berkembang menjadi sub-etnis Dayak Lundayeh makin lama semakin bertambah. Seiring dengan waktu, mereka “menguasai” tanah adatnya masing-masing.
Kehadiran Misi CMA dari Amerika telah “membebaskan” manusia sungai Krayan dari banyak hal, bukan hanya keterbelakangan bidang pendidikan, melainkan juga kesehatan, mental spiritual dan bidang lainnya. Landasan pesawat ini hanya dapat digunakan oleh jenis pesawat kecil, seperti Kodiak dan Cessna saja.
Sangat gamblang motif Misi berkarya di Borneo. Dalam rangka memperlancar karya misinya di tengah-tengah penduduk yang dilayani, CMA juga ingin memberi pelayanan sosial kepada masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk membangun lapangan terbang di berbagai wilayah strategis di bumi Krayan seperti yang masih berfungsi dengan baik hingga hari ini. Misalnya, bandara di Ba’ Binuang, Long Padi, Tang Paye, Pa Upan, Long Layu, Dan Long Bawan. Sementara Lapangan Terbang yang sudah di tutup di antaranya; Pa Padi, Kurid, Wa Yagung.
Lapangan terbang adalah salah satu jejak peradaban manusia Sungai Krayan yang barangkali tidak ditemukan di belahan lain bumi Borneo.
Lapangan terbang yang masih berfungsi landasannya dari tanah keras biasa. Kecuali Lapangan Terbang Ba Binuang, S. Tipa Padan, yang telah berhasil diaspal. Hal yang menarik adalah bahwa dahulu kala, pengerjaan landasan lapangan terbang dengan melibatkan seluruh warga setempat.
Di masa lalu, tidak ada alat-alat berat seperti saat ini yang bisa digunakan untuk mempercepat dan menyempurnakan landasan pesawat terbang. Ketika dibangun, penduduk gotong royong, menggunakan alat cangkul, sekop, dan alat pengangkut untuk memindahkan tanah terbuat dari bambu belah yang dianyam.
Kalau kita bicara soal artefak yang menggambarkan bagaimana lahirnya peradaban Manusia Sungai Krayan, kita bisa mencerna dari bukti fisik sebagai clue untuk menelusuri peradaban suatu bangsa, maka lapangan terbang ini adalah salah satu bentuk bukti fisik itu.
Ada satu dua lapangan terbang Misi yang terdapat di belahan wilayah lain di Kalimantan, sebut saja di Serukam, Kalimantan Barat. Akan tetapi, hal itu tidak memiliki nilai historis yang dapat disebut sebagai tonggak peradaban sebagaimana yang terdapat di Krayan.
Lapangan terbang adalah salah satu jejak peradaban manusia Sungai Krayan, Kalimantan Utara, yang barangkali tidak ditemukan di belahan lain bumi Borneo.
Mengapa demikian?
Hal itu karena peristiwa, tokoh, dan setting (waktu dan tempat) terbukti mengubah perikehidupan manusia dan budayanya menjadi semakin baik dan beradab dari masa ke masa.
Fase-fase perkembangan manusia Sungai Krayan dari fase prasejarah (penganut kepercayaan asli) ke tahap mengenal Tuhan (Injil) hingga kepada fase era digital 4.0 saat ini telah membuktikan, sekaligus menunjukkan adanya “loncatan” peradaban itu: dari baik, semakin baik, dan sempurna. *)