Lumbis: Kepadamu Kutitipkan Perbatasan!
Lumbis dan Jokowi: Kepadamu kutitipkan Perbatasan! |
Usianya waktu itu baru 22 tahun. Bagaimana mungkin orang muda memimpin suku yang komunitasnya di Indonesia kurang lebih 50.000 jiwa?
Menoleh kembali surut ke belakang. Itulah rupanya "garis tangan". Perjalanan hidup, sekaligus karier Camat Kecamatan Lumbis Pansiangan pada waktu ini. Pria kelahiran 1983 yang pernah memangku Ketua Umum Dewan Adat Dayak Ababag 2005-2017.
Itu fakta sejarah. Tidak mungkin surut ke belakang. Tidak pula dapat direproduksi, sebab hanya terjadi sekali.
Tidak lazim orang Dayak memungut nama wilayah menjadi nama identitas diri. Namun, anak yang lahir pada 12 September 1983 di Lumbis, Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, diberi nama desa kelahiran: Lumbis.
Kini desa kelahirannya masuk wilayah yang masih sengketa dengan RI-Malaysia (Outstanding Boundary Problem 2002-2018) yang bergabung menjadi kelompok desa Labang (Perbatasan RI-Sabah Malaysia). Dari Labang, hanya butuh waktu 15 menit naik perahu tempel sudah sampai di Kampung Bantul Sabah, Malaysia. Suasana sudah berbeda. Di Sabah lebih maju daripada wilayah Indonesia yang masih dikelilingi oleh hutan dan gunung dan di persimpangan dua aliran sungai, yaitu sungai Pansiangan (wilayah Malaysaia) dan Sungai Sadalid (wilayah Indonesia).
Usai menamatkan SD 017 Labang, Lumbis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Lumbis. Karena menumpang di rumah orang, remaja ini sempat menjadi “pembantu” sambil sekolah. Ia mengerjakan pekerjaan layaknya pembantu, mulai dari membersihkan rumah, mengepel, mencuci piring, hingga menanak nasi. Namun, semua itu dikerjakannya dengan iklhas. Hingga akhirnya berhasil tamat sekolah.
Ia punya pengalaman menarik. “Setiap turun sekolah, saya harus bawa keranjang berisikan kue. Jarak tempat tinggal saya dengan sekolah kurang lebih 5 kilometer. Tak jarang, kue jualan saya hilang diambil oleh teman-teman yang kebetulan juga teman sendiri dari perbatasan.”
Untuk menutupi kehilangan kue, Lumbis rela tidak punya uang jajan. Ia membayar kerugian dari bagi hasil jualan kue dengan si ibu pemilik kue. Jadi, sebenarnya, dia sendirilah yang memberi jajan kepada teman-teman kampungnya asal yang “nakal”. Bukan berarti Lumbis tidak tahu, ia mengerti keadaan teman-temannya. Ia rela berkorban dalam diam. Profesi sebagai penjual kue ditekuninya selama dua tahun, hingga dirinya diminta seorang pastor, Niko Ola Paukoma O.M.I., pindah ke Asrama Katolik Ago Onsoi Mansalong yang baru saja dibuka.
Seakan-akan Presiden Jokowi berkata kepada saya: Kepadamu kutitipkan perbatasan!
Di asrama, Lumbis tekun belajar. Suasana sangat kondusif baginya. Dari kelas I sampai kelas III selalu juara kelas dan merupakan pemegang NIM EBTANAS untuk tingkat Rayon. Bermodalkan NIM “juara kampung” tersebut, Lumbis mendaftar di SMA Negeri 1 Tarakan yang merupakan sekolah terbaik di wilayah utara Kaltim saat itu (sekarang Kalimantan Utara).
Di SMA, Lumbis mengembangkan potensi diri sehingga presatasi akedemiknya tidak kalah dengan anak-anak dari kota di mana dari kelas I - III ranking kelas. Ia mengambil jurusan IPA. Bahkan ia mendapat kesempatan masuk perguruan tinggi jalur PBUD/PMDK Universitas Gajah Mada pada Fakultas Teknik Kimia Jurusan Rekator Nuklir dan Universitas Lambung Mangkurat pada Jurusan Teknik Sipil. Namun, tidak memiliki akte kelahiran karena terlambat mengurus, ia tidak datang daftar ulang di UGM ataupun di Lambung Mangkurat Bajarmasin.
Setelah persyaratan lengkap, Lumbis harus berangkat ke Samarinda. Ia hanya memberitahu orang tua di kampung bahwa dia pergi kuliah dengan mengirim sepucuk surat. Itu pun, surat dikirim melalui salah satu pekerja perusahan yang beropersi di kampungnya. Alasan Lumbis mengirim surat karena jika pulang ke kampung, pasti ditahan dan dianjurkan untuk menikah saja. Maka Lumbis mendaftar di Universitas Mulawarman (UNMUL) melalui jalur UMPTN dan diterima pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Pemerintahan. Ia berhasil menyelesaikan kuliah relatif cepat, yakni 3 tahun 8 bulan dengan predikat wisudawan lulusan terbaik (Cum laude) Universitas Mulawarman pada 2005.
Pada awal Februari 2005, bertepatan dengan dengan liburan semester ganjil, masyarkat Dayak Agabag seluruh Indonesia mengadakan Kongres Adat yang dalam bahasa Dayak Agabagnya dikenal dengan istilah Ilau. Kongres ini sendiri adalah yang pertama kalinya dilakukan oleh masyarakat Dayak Agabag untuk merumuskan nasib hidup masyarakat Dayak Agabag.
Saat itu, kebanyakan berdomisili di tapal batas, merumuskan adat-istiadat dan pelestariannya, dan menggali hukum-hukum adat serta merumuskannya supaya tidak bertantangan dengan Konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia tetapi memiliki hubungan yang fungsional dalam bernegara dan berbangsa. Lumbis dan teman-teman mahasiswa yang ada di Samarinda mendapat undangan untuk membantu panitia Ilau demi kelancaran Kongres Adat tersebut.
Dalam kongres, berkembang pendapat bahwa perlu dibentuk Dewan Adat Dayak Agabag. Dewan ini sebagai wadah pemersatu, mempromosi Budaya Dayak Agabag (nama organisasi Persatuan Dayak Agabag) dan sebagai lembaga konsultasi oleh ketua-ketua Adat di masing-masing desa yang rata-rata sulit untuk melakukan komunikasi dengan pihak luar karena faktor bahasa dan lain-lain.
Usul ini pun diterima 425 kepala adat yang hadir pada saat itu. Pemilihan pun dilakukan secara demokratis. Sesuatu yang musykil bagi Lumbis ketika didukung oleh beberapa ketua adat untuk ikut calon. Awalnya, ia sempat monolak keinginan berberapa ketua adat tersebut karena waktu itu masih kuliah dan umur baru 22 tahun. Bagaimana mungkin orang muda memimpin suku yang komunitasnya di Indonesia kurang lebih 50.000 jiwa?
Namun, hasil pemilihan menunjukkan Lumbis unggul telak dari calon yang sebenarnya dia dukung. Dalam Kongres adat tersebut yang memiliki hak pilih adalah ketua Adat Besar, Ketua Adat Desa, pengurus kelembagaan Adat dari 5 Wilayah kelembagaan adat, pemerhati budaya Dayak Agabag dan tokoh masyarakat dan pemuda sebagimana yang telah mereka sepakati sebelumnya.
Lumbis langsung kebingungan kenapa ia yang harus dipilih? Padahal, teman tanding bersaing lebih layak dari segi umur, pengalaman dan penguasaan tentang hukum adat sudah lebih matang. Namun, demi kemajuan masyarakat Dayak Agabag yang hidup di pedalaman dan perbatasan, Lumbis menerima mandat tersebut. Langsung pada saat itu juga ia membentuk formatur untuk melengkapi kepengurusan organisasi sesuai dengan kebutuhan.
Tugas-tugas Dewan Adat Dayak Agabag tidaklah mudah. Pada umur muda, ia harus terlibat menyelesaikan sengketa tanah adat antar-desa. Juga sengketa masyarakat adat dengan perusahan, permasalahan sosial kemasyarakatan seperti penegakan hukum adat. Selain itu, ia membuka komunikasi dengan keluarga Dayak Agabag yang berada di Sabah-Malaysia (Murut) karena Dayak Agabag masuk dalam Dayak Rumpun Murut, terutama menyamakan persepsi tentang permasalahan, mensosialisai dan pelestarian budaya Dayak Agabag yang merupakan khasanah kekayaan budaya bangsa. Termasuk di dalamnya program-program percepatan peningkatan sumber daya manusia di pedalaman perbatasan, penguatan pada sektor ekonomi serta penguatan pada partisipasi politik dan pemerintahan.
Setelah menjalankan tugas selama 5 tahun, ia dipecaya lagi untuk periode berikutnya dan dipilih secara aklamasi. Setelah memutuskan tidak lagi menjadi ketua dewan adat Dayak Agabag, sekarang Lumbis Aktif di organisasi Dayak yang lebih besar lagi yaitu sebagai Ketua III Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Utara merangkap Seketaris Jenderal Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Nunukan.
Lumbis juga aktif di Borneo Dayak Forum International dan sering menjadi narasumber dalam acara yang diselenggarakan oleh Borneo Dayak Forum International. Geraknya yang gesit mudah akrab dengan orang dan gaya lobi yang cukup diperhitungkan membuat pemuda “ajaib” dari perbatasan ini dan peletak pondasi dasar peradaban Dayak Agabag. Tak mengherankan, di zaman modernisasi saat ini, ia dijuluki komunitasnya dengan “tuan sapu langit”.
Lumbis mengumpulkan pemuda-pemuda di perbatasan dan membentuk organisasi yang turut serta menjaga kedaulatan bangsa dan negara dengan nama “Pemuda Penjaga Perbatasan RI” yang berpusat di Mansalong. Lewat organisasi ini, ia mulai dikenal di kancah nasional. Beberapa kali menjadi narasumber di lembaga/kementerian terkait perbatasan. Bahkan, menjadi narasumber di FGD di DPRRI melalui organisasi Pemuda Penjaga Perbatasan.
Lumbis dan teman-teman sering melakukan kegiatan positif di perbatasan, seperti: talk show, pendidikan wawasan kebangsaan di desa-desa perbatasan untuk memotivasi anak-anak sekolah di wilayahnya agar mau menimba ilmu di bangku kuliah dan menginggalkan tradisi kurang baik yang menghabat pecepatan sumber daya manusia, pengibaran 1000 bendera sepanjang garis perbatasan di Kabupaten Nunukan, memberi bantuan lampu PLTS Gren Energy di setiap rumah pada 15 desa di perbatasan. Lumbis bekerja sama dengan Masyarkat Peduli Perbatasan (MPPI), serta banyak kegiatan lainnya. Kegiatan ini dia lakukan di luar kesibukan aktivitasnya sebagai ASN di Nunukan, Kalimantan Utara.
Pendiri Lumbis Institute yang juga Duta Borneo Dayak Forum Internasional untuk Kalimantan Utara ini punya motto menarik, sekaligus sarat makna. “Kita dilahirkan untuk membebaskan kaum dari keterpurukan dan keterbelakangan.”
Moto bukan sebatas angan-angan, melainkan coba ia ujudkan dalam setiap derap langkah dan helaan napasnya. Sedemikian rupa, sehingga ia menjadi inspirasi bagi sebagian pemuda Dayak di Borneo. *)