Boundary Line Indonesia Kalah dari Malaysia
Kapal RI patroli di perbatasan. Sumber gambar: Istimewa. |
Sebagai anak-kandung Varuna-dvipa –nama Borneo era pengaruh Hindu-India– yang lahir dari perut pulau terbesar ke-3 dunia dan hidup di Jakarta, saya memandang perbatasan dari ketinggian mata elang.
Terkait dengan Perbatasan dengan negara tetangga tersebut, muncul berbagai masalah yang krusial. Bukan saja menyangkut kedaulatan dalam negeri, melainkan juga kehormatan dan nilai-nilai sosial, politik, dan ekonomi yang menyertainya. Persoalan border line menjadi penting sebagai agenda Negara terkait dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baca: https://www.bordernews.id/2023/02/utang-negara-pada-perbatasan-cuitan-dan.html
Beberapa contoh betapa masalah perbatasan dengan negara tetangga ini membuat ketegangan bukan saja antar-negara melainkan menyangkut dunia internasional adalah kasus Sengketa Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Demikian pula masalah boundary line dengan Malaysia di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, asas legalitasnya perlu untuk diketahui dengan pasti. Termasuk kasus masalah di 5 lokasi perbatasan Kalimantan Barat
dengan Sarawak, Malaysia yang menuntut untuk segera diselesaikan secara berkeadilan bagi Negara.
Kita menyadari bahwa “siapa yang menguasai informasi, dialah yang menguasai dunia” adalah peribahasa yang relevan dengan masalah perbatasan ini. Pengalaman dalam hal penyelesaian masalah perbatasan Sipadan dan Ligitan, membuat Indonesia semakin menyadari kebenaran kalimat ini. Mengapa Indonesia kalah dengan Malaysia dalam mengklaim pulau terbesar ke-3 dunia yang, menurut khasanah Kompeni Hindia Belanda (1757) disebut Tanah Dayak, binnenlander, atau Land-Dayak ini?
Kita kurang siap dan lemah akan data dan informasi. Indonesia kalah dari Malaysia dalam kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia berhasil dan dapat membuktikan di dunia internasional dalam menjaga kelestarian lingkungan pada kedua pulau yang dipersengketakan sebagai pelaksanaan fungsi administrasi pemerintahan negeri tersebut.
Historia docet –sejarah mengajari. Kita tidak ingin kasus seperti ini terulang untuk kedua kalinya di masa-masa yang akan datang. Dalam rangka “belajar dari sejarah”, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, menyelami sejarahnya,. Kemudian mengetahui duduk perkara masalah perbatasan. Sebab semakin banyak dan lengkap informasi yang didapatkan, akan kian akurat pula kita di dalam mengambil Keputusan.
Saya menangkap, ini visi Dr. Yansen yang sejatinya punya gawe Batu Ruyud Writing Camp (BRWC).
Akan halnya “mengapa saya ada?” di BRWC, adalah baut, bagian dari visi besar Pak Yansen itu! Bukan semata-mata sebagai sahabat dan saudara angkat –saya digelari nama Lengilo’: Derayeh Lingu Tawak Lengilo –gong yang menyaringkan kegungan orang Lengilo melalui literasi. *)